Sunday, June 2, 2013

Menjadi Caleg dalam Sistem Demokrasi

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, MA 

Pendahuluan
Sistem demokrasi dirumuskan sebagai reaksi terhadap kekuasaan tunggal yang memusat pada raja atau kaesar, yang diklaim sebagai wakil tuhan. Kekuasaan yang akhirnya menjadi korup. Karena itu, muncullah pandangan tentang sparating of power (pemisahan kekuasaan). Dari sinilah, maka konsep trias politica Montesque itu lahir.
Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai representasi kekuasaan dipisahkan satu sama lain, sehingga masing-masing bersifat independen. Dengan klaim, bahwa semuanya merupakan kekuasaan rakyat. Sehingga memunculkan klaim, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, ternyata semuanya itu hanyalah klaim kosong. Karena terbukti, rakyat tidak pernah memerintah. Demikian juga kebijakan pemerintah senyatanya juga tidak berpihak kepada rakyat.
Akibatnya, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pun terjun bebas. Padahal, pemilu diklaim sebagai medium rakyat dalam menentukan nasib mereka, melalui representasi pemerintahan yang mereka pilih. Menurunnya tingkat kepercayaan publik, dan minimnya partisipasi mereka dalam pemilu, ini selain karena tidak adanya bukti yang sahih, bahwa pemilu ini bisa mengubah nasib mereka. Juga, karena baik partai maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat itu sudah jatuh di mata mereka, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.
Tak terkecuali dengan partai Islam, partai yang mengklaim Islam, atau berbasis massa Islam. Termasuk barisan politikus berlabel kyai, ustadz dan sebagainya. Meski demikian, dalam situasi dan kondisi seperti ini, masih saja ada yang mencoba peruntungan. Siapa tahu, bernasib baik. Namun, disadari atau tidak, sistem demokrasi, parlemen dan habitatnya bukanlah tempat yang baik, bahkan berlumuran noda dan najis.

Demokrasi dan Pemilu
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.
Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.
Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri.  Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.
Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi  dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif.  Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif.  Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.
Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu.  Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.

Islam dan Pemilu
Adapun sistem yang dijadikan pedoman umat Islam karena telah diwajibkan kepada mereka oleh keimanan mereka kepada akidah Islam, sesungguhnya sistem tersebut berbeda dengan sistem demokrasi di atas,  baik dari aspek akidah Islam, maupun pilar yang menjadi pondasi tegaknya sistem dan rinciannya.
Pilar terpenting yang menjadi pondasi sistem pemerintahan Islam adalah kedaulatan di tangan syara’.  Pilar ini dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalâlah.  Sebagaimana firman Allah:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.s. Yûsuf [12]: 40)
Keputusan di sini maknanya adalah tasyrî’ (legislasi), yaitu perintah, larangan dan kemubahan.  Bukan dalam konteks kekuasaan dan pelaksanaan politik.  Allah juga berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُوْنَ
 “Siapa saja yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir.” (Q.s. al-Mâidah [5]: 44)
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.s. an-Nahl [16]: 116)

Masih banyak ayat yang lain.  Semuanya menunjukkan makna yang sama.  Dengan begitu di dalam sistem Islam tidak ada yang namanya kekuasaan legislatif, sebagaimana dalam sistem demokrasi yang sedang diterapkan (secara formal) di sebagian besar dunia Islam.  Tetapi sumber legislasi dalam sistem Islam adalah nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, dan penggalian (istinbath)-nya yang dilakukan oleh para mujtahid.
Hak mengadopsi hukum yang bersifat ijtihadi yang di dalamnya para mujtahid berbeda pendapat adalak wewenang kepala negara yang dipilih oleh umat sebagai wakil mereka dalam menerapkan sistem Islam dan mengurusi urusan mereka.  Kepala negara berpijak kepada ijtihad yang dipandang paling kuat dalilnya, yang dituntut oleh kewajiban mengurus urusan umat.  Ini berdasarkan firman Allah:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri dari kalian.” (Q.s. an-Nisâ [4]: 59)
Berdasarkan hal itu, dalam sistem Islam, majelis umat yang mewakili rakyat, tidak memiliki apa yang disebut kekuasaan legislatif.  Karena kedaulatan dalam Negara Khilafah ada di tangan syara’.  Kepala negara, Khalifah, adalah pihak yang diberi wewenang untuk mengadopsi hukum syara’ dan undang-undang yang bersifat administratif yang menjadi tuntutan dalam mengurus urusan rakyat.
Hanya saja tidak berarti, bahwa dalam sistem Islam tidak ada pemilu.  Pilar kedua yang menjadi pondasi tegaknya sistem pemerintahan Islam adalah kekuasaan milik umat.  Pilar ini menegaskan, bahwa umat merupakan pemilik hak dalam memilih kepala negara yang akan mengurusi urusan mereka.  Tidak boleh seorang pun menjadi kepala negara, kecuali dengan mendapatkan mandat dari umat melalui baiat yang sah secara syar’i.
Meski begitu, umat tetap bertanggung jawab menjalankan haknya dengan monitor, menasehati dan mengoreksi penguasa, setelah dia dibai’at, jika lalai atau bertindak buruk atau zalim. Wewenang yang dimiliki umat ini membutuhkan sarana, agar bisa diaktualisasikan.  Ini tidak bisa diwujudkan, terlebih ketika umat sudah sedemikian tersebar luas dan jumlahnya terus bertambah, kecuali dengan pemilu.
Karena itu, pemilu ini sesungguhnya merupakan sarana praktis untuk memilih seseorang yang layak mendapatkan bai’at dari umat. Begitu pula pemilu ini merupakan sarana praktis untuk memilih para wakil umat yang mewakili mereka dalam mengoreksi penguasa, memonitor negara dan mengungkapkan tuntutan dan pengaduan umat.  Para wakil umat itu adalah anggota Majelis Ummat (ahlul halli wal ‘aqdi).  Mereka juga mungkin diberi wewenang untuk membatasi calon kepala negara, atau bahkan memilih kepala negara sendiri itu.
Atas dasar itu, maka perbedaan mendasar pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam adalah, bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bertujuan untuk melaksanakan legislasi dan itu merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia.  Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah sebagai representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka, atau dengan pemilu itu umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat.
Sedangkan pemilu legislatif di Indonesia, jauh dari keberadaannya sebagai pemilu legislatif sebagaimana dalam sistem demokrasi, meski secara teoritis sekalipun. Pemilu di Indonesia juga berjalan sesuai dengan konvensi dan perundang-undangan yang keberadaannya sangat jauh dari melaksanakan politik dalam pengertian yang sesungguhnya. Tidak ada program politik riil pada diri orang-orang yang bersaing untuk menduduki kursi parlemen. Setiap program politik yang ditawarkan oleh mereka yang saling bersaing hanyalah sketsa di atas kertas.
Watak mendasar di dalam pemilu Indonesia ini adalah persaingan antara berbagai kelompok yang membagi negeri di antara mereka dalam konteks pertarungan lokal, yang terkait dengan perannya dalam konstalasi politik global.  Jika satu kelompok memperoleh mayoritas kursi, maka kutub lokal yang ada di belakangnya juga menjadi pemenang.  Sebaliknya jika kelompok lain yang menang, maka yang menang secara lokal adalah kutub-kutub yang ada di belakang kelompok lain itu.  Pada dua kondisi tersebut, keputusan politik di Indonesia tetap tergadaikan pada kepentingan global tertentu.
Tidak ada kebijakan politik riil di dalam negeri Indonesia.  Keputusan-keputusan politik yang ada sesungguhnya datang dari kekuatan transnasional.  Dengan demikian pemilih yang pergi ke tempat pemungutan suara perannya tidak lebih hanya mengokohkan penguasaan salah satu keputusan politik yang datang dari luar tapal batas negerinya.  Masing-masing dari dua kepentingan politik yang datang dari asing itu tidak peduli kepada pemilih, kemaslahatan, masalah utamanya atau masalah skundernya.

Pencalegan dan Pemilihan Caleg dalam Pandangan Syara’
Jika kita ingin menjelaskan hukum syara’ di dalam pemilu ini, baik pencalonan maupun pemilihan, bisa dijelaskan:
Karena pemilu adalah representasi dari pemilih kepada calon, sementara representasi dalam Islam adalah hal yang mubah, selama merupakan wakalah (representasi) dalam aktivitas yang disyariatkan.  Karena wakil yang terpilih adalah wakil rakyat dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam urusan politik, yaitu mengatur urusan rakyat.  Berdasarkan semuanya itu, maka pecalonan dan pemilihannya adalah mubah.  Dengan syart, calon-calon yang akan dipilih itu mempunyai program-program baku yang sesuai dengan syara’, dimana calon tersebut dipilih berdasarkan programnya, dan dia pun terikat dengannya setelah terpilih.  Hal-hal baku itu adalah:
  1. Tidak menyetujui konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia yang sedang diterapkan di Indonesia, kemudian berjuang untuk menggantinya dengan sistem Islam.
  2. Tidak ikut serta dalam proses legislasi, karena menetapkan hukum bukanlah hak manusia.  Karena kedaulatan dalam kehidupan kaum Muslim wajib dikembalikan kepada syara’.
  3. Tidak ikut serta dalam memilih presiden, jika parlemen mempunyai hak memilih presiden, karena presiden yang terpilih memerintah dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah.
  4. Hendaknya tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan manapun karena kekuasaan eksekutif mengimplementasikan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena presiden juga memerintah dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.
  5. Tidak terlibat dalam menyetujui APBN, karena APBN ini disusun berdasarkan asas yang lain, selain Islam, yaitu sistem Kapitalisme yang berlumuran riba dan transaksi finansial yang diharamkan oleh syara’.  Lebih dari itu, APBN tersebut menjadikan negara tunduk pada organisasi ekonomi global, dan perusahaan Kapitalisme yang merampok kekayaan umat manusia.
  6. Hendaknya tidak berpartisipasi dalam menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh penguasa.  Karena perjanjian-perjanjian itu ditetapkan berdasarkan konstitusional dan perundang-undangan yang menyalahi syariah.  Disamping perjanjian-perjanjian itu pada kebanyakan kondisi memberikan jalan kepada negara-negara besar untuk menguasai umat.  Padahal Allah berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (Q.s. an-Nisâ’ [4]: 141)

  1. Hendaknya calon terpilih mengoreksi kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum-hukum syariah Islam, bukan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia.  Karena Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri dari kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)

  1. Hendaknya tidak berkoalisi dalam aksi pemilihannya dengan calon-calon yang tidak berpegang kepada hukum-hukum Islam dalam program dan sikap politik mereka.  Karena dengan koalisi itu artinya dia menyetujui jalan mereka dan menyeru pemilih untuk memilih mereka padahal Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Mâidah [5]: 2)

Wednesday, May 29, 2013

Aku dan Islam

Kisah perjalanan hidup mas Felix Siauw (Seorang hamba Allah yang diselamatkan dari neraka) dalam menemukan hidayah.

“Jika kamu masih mempunyai banyak pertanyaan, maka kamu belum dikatakan beriman, Iman adalah percaya apa adanya, tanpa reserve”.

Begitulah kira-kira suatu pernyataan yang akan selalu saya ingat didalam hidup saya. Waktu itu saya masih seorang penganut Kristen Katolik berusia 12 tahun yang banyak sekali pertanyaan didalam hidup saya. Diantara pertanyaan-pertanyaan itu, tiga pertanyaan yang paling besar adalah: Darimana asal kehidupan ini, Untuk apa adanya kehidupan ini, dan akan seperti apa akhir daripada kehidupan ini. Dari tiga pertanyaan tersebut muncullah pertanyaan-pertanyaan turunan, “Kenapa tuhan pencipta kehidupan ini ada 3, tuhan bapa, putra dan roh kudus? Darimana asal tuhan bapa?”, atau “Mengapa tuhan bisa disalib dan dibunuh lalu mati, lalu bangkit lagi?”. Jawaban-jawaban itu selalu akan mendapatkan jawaban yang mengambang dan tak memuaskan.

Ketidakpuasan lalu mendorong saya untuk mencari jawaban di dalam alkitab, kitab yang datang dari tuhan, yang saya pikir waktu itu bisa memberikan jawaban. Sejak saat itu, mulailah saya mempelajari isi alkitab yang belasan tahun tidak pernah saya buka secara sadar dan sengaja. Betapa terkejutnya saya, setelah sedikit berusaha memahami dan mendalami alkitab, saya baru saja mengetahui pada saat itu jika 14 dari 27 surat dari injil perjanjian baru ternyata ditulis oleh manusia, saya hampir tidak percaya bahwa lebih dari setengah isi kitab yang katanya kitab tuhan ditulis oleh manusia, yaitu Santo Paulus. Lebih terkejut lagi ketika saya mengetahui bahwa sisa kitab yang lainnya juga merupakan tulisan tangan manusia setelah wafatnya Yesus. Sederhananya, Yesus pun tidak mengetahui apa isi injilnya. Lebih dari itu semua, konsep trinitas yang menyatakan tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) yang merupakan inti dari ajaran kristen pun ternyata adalah hasil konggres di kota Nicea pada tahun 325 M. Ketika proses mencari jawaban di dalam alkitab pun, saya menemukan sangat sedikit sekali keterangan yang diberikan di dalam alkitab tentang kehidupan setelah mati hari kiamat dan asal usul manusia.

Setelah proses pencarian jawaban di dalam alkitab itu, saya memutuskan bahwa agama yang saya anut tidaklah pantas untuk dipertahankan atau diseriusi, karena tidak memberikan saya jawaban atas pertanyaan mendasar saya, juga tidak memberikan kepada saya pedoman dan solusi dalam menjalani hidup ini. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang tidak beragama, tetapi tetap percaya kepada Tuhan. Saya mengambil kesimpulan bahwa semua agama tidak ada yang benar, karena sudah diselewengkan oleh penganutnya seiring dengan waktu. Saya menganggap semua agama sama, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Saya juga berpandangan bahwa Tuhan laksana matahari, dimana para nabi dengan agamanya masing-masing adalah bulan yang memantulkan cahaya matahari, dan pemantulan itu tidak ada yang sempurna, sehingga agama pun tidak ada yang sempurna Tanpa sadar waktu itu saya masuk kedalam ideologi sekular. Menjadilah saya manusia yang sinkretis dan pluralis pada waktu itu.

Tetapi semua pandangan itu berubah 5 tahun kemudian ketika saya memasuki semester ketiga saya ketika berkuliah di salah satu PTN. Saya menemukan bahwa teori saya bahwa semua agama itu sama hancur samasekali dengan adanya realitas baru yang saya dapatkan. Lewat pertemuan saya dengan seorang ustadz muda aktivis gerakan da’wah islam internasional, perkenalan saya dengan al-Qur’an dimulai. Diskusi itu bermula dari perdebatan saya dengan seorang teman saya tentang kebenaran. Dia berpendapat bahwa kebenaran ada di dalam al-Qur’an, sedangkan saya belum mendapatkan kebenaran. Sehingga dipertemukanlah saya dengan ustadz muda ini untuk berdiskusi lebih lanjut.

Setelah bertemu dan berkenalan dengan ustadz muda ini, saya lalu bercerota tentang pengalaman hidup saya termasuk ketiga pertanyaan hidup saya yang paling besar. Kami lalu berdiskusi dan mencapai suatu kesepakatan tentang adanya Tuhan pencipta alam semesta. Adanya Tuhan, atau Sang Pencipta memanglah sesuatu yang tidak bisa disangkal dan dinafikkan bila kita benar-benar memperhatikan sekeliling kita. Tapi saya lalu bertanya pada ustadz muda itu “Saya yakin Tuhan itu ada, dan saya berasal dari-Nya, tapi masalahnya ada 5 agama yang mengklaim mereka punya petunjuk bagi manusia untuk menjalani hidupnya. Yang manakah lalu yang bisa kita percaya?!”. Ustadz muda itu berkata “Apapun diciptakan pasti mempunyai petunjuk tentang caranya bekerja” lalu dia menambahkan “Begitupun juga manusia, masalahnya, yang manakah kitab petunjuk yang paling benar dan bisa membuktikan diri kalau ia datang dari Sang Pencipta atau Tuhan yang Maha Kuasa” lalu diapun membacakan suatu ayat dalam al-Qur’an:

Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (TQS al-Baqarah [2]:2)

Ketika saya membaca ayat ini saya terpesona dengan ketegasan dan kejelasan serta ketinggian makna daripada kitab itu. Mengapa penulis kitab itu berani menuliskan seperti itu?. Seolah membaca pikiran saya, ustadz itu melanjutkan “kata-kata ini adalah hal yang sangat wajar bila penulisnya bukanlah manusia, ciptaan yang terbatas, Melainkan Pencipta. Not creation but The Creator. Bahkan al-Qur’an menantang manusia untuk mendatangkan yang semacamnya!”

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar (TQS al-Baqarah [2]: 23)

Waktu itu saya membeku, pikiran saya bergejolak, seolah seperti jerami kering yang terbakar api. Dalam hati saya berkata “Mungkin inilah kebenaran yang selama ini saya cari!”. Tetapi waktu itu ada beberapa keraguan yang menyelimuti diri saya, belum mau mengakui bahwa memang al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat istimewa, yang tiada seorangpun yang bisa mendatangkan yang semacamnya. Lalu saya bertanya lagi “Lalu mengapa agama yang sedemikian hebat malah terpuruk, menjadi pesakitan, hina dan menghinakan dirinya sendiri?”. Dengan tersenyum dan penuh ketenangan ustadz muda itu menjawab “Islam tidak sama dengan Muslim. Islam sempurna, mulia dan tinggi, tidak ada satupun yang tidak bisa dijelaskan dan dijawab dalam Islam. Muslim akan mulia, tinggi juga hebat. Dengan satu syarat, mereka mengambil Islam secara kaffah (sempurna) dalam kehidupan mereka”

“Jadi maksud ustadz, muslim yang sekarang tidak atau belum menerapkan Islam secara sempurna?!” sata menyimpulkan.

“Ya, itulah kenyataan yang bisa Anda lihat” tegas ustadz muda itu.

Lalu saya dijelaskan panjang lebar tentang maksud bahwa Islam berbeda dengan Muslim. Penjelasan itu sangat luar biasa, sehingga memperlihatkan bagaimana sistem Islam kaffah bekerja. Sesuatu yang belum pernah saya dengar tentang Islam sampai saat itu, sesuatu yang tersembunyi (atau sengaja disembunyikan) dari Islam selama ini. Saat itu saya sadar betul kelebihan dan kebenaran Islam. Hanya saja selama ini saya membenci Islam karena saya hanya melihat muslimnya bukan Islam. Hanya melihat sebagian dari Islam bukan keseluruhan.

Akhirnya ketiga pertanyaan besar saya selama ini terjawab dengan sempurna. Bahwa saya berasal dari Sang Pencipta dan itu adalah Allah SWT. Saya hidup untuk beribadah (secara luas) kepada-Nya karena itulah perintah-Nya yang tertulis didalam al-Qur’an. Dan al-Qur’an dijamin datang dari-Nya karena tak ada seorangpun manusia yang mampu mendatangkan yang semacamnya. Setelah hidup ini berakhir, kepada Allah saya akan kembali dan membawa perbuatan ibadah saya selama hidup dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya sesuai dengan aturan yang diturunkan oleh Allah. Setelah yakin dan memastikan untuk jujur pada hasil pemikiran saya. Saya memutuskan:

“Baik, kalau begitu saya akan masuk Islam!”

Saya tahu, saya akan menemui banyak sekali tantangan ketika saya memutuskan hal ini. Saya memiliki lingkungan yang tendensius kepada Islam dan saya yakin keputusan ini tidak akan membuat mereka senang. Tapi bagaimana lagi, apakah saya harus mempertahankan perasaan dan kebohongan dengan mengorbankan kebenaran yang saya cari selama ini?!. “Tidak, sama sekali tidak” saya memastikan pada diri saya sendiri lagi. Artinya walaupun tantangan di depan mata, saya yakin bahwa Allah, yang memberikan saya semuanya inilah yang pantas dan harus didahulukan.

Setelah menemukan Islam, saya menemukan ketenangan sekaligus perjuangan. Ketenangan pada hati dan pikiran karena kebenaran Islam. Dan perjuangan karena banyak muslim yang masih terpisah dengan Islam dan tidak mengetahui hakikat Islam seperti yang saya ketahui, kenikmatan Islam yang saya nikmati dan bangga kepada Islam seperti saya bangga kepada Islam. Dan mudah-mudahan, sampai akhir hidup saya dan keluarga saya, kami akan terus di barisan pembela Islam yang terpercaya. Janji Allah sangat jelas, dan akan terbukti dalam waktu dekat. Allahuakbar!

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nuur [24]: 55)
Terimakasih Allah SWT, telah memberiku al-Qur’an dan taufik. Terimakasih wahai rasulullah Muhammad saw. atas kasih sayang dan perjuangannya. Terimakasih untuk Mami yang telah melahirkan dan mengasuh serta membesarkanku. Papi atas pelajaran nalar dan kritisnya sehingga aku bisa menemukan Islam. al-Ustadz Fatih Karim atas kesabaran dan persaudaraanya. al-Ustadz Ahmad Muhdi atas kritik dan perhatiannya. Ummi Iin atas percaya dan penurutnya. Teman-teman HDHT, terimakasih atas bimbingannya.

Felix Siauw
follow me on twitter @felixsiauw

Monday, May 27, 2013

Misteri Kotak Hitam Ibu Peri

Poka dan Beka adalah dua ekor bebek yang masih muda. Umur keduanya sepantaran dengan manusia yang sedang dalam masa ABG. Si Poka sendiri umurnya sedikit lebih tua dibanding Beka, selisih 3 bulan.

Meskipun masih muda, kedua bebek tua (kalau manusia kan orang tua, berarti kalau bebek ya bebek tua, hehehe) mereka sudah meminta Poka dan Beka untuk hidup sendiri. Bukan apa-apa. Dibanding kelima saudara mereka yang lain, Poka dan Beka ternyata memiliki sifat yang kurang baik, yaitu suka curiga dan sinis terhadap binatang yang lain. Agar keduanya bisa sadar dan berubah, bebek tua mereka menyuruh Poka dan Beka untuk mendirikan rumah sendiri dan hidup mandiri.

Pinggir sungai adalah tempat yang dipilih oleh Poka dan Beka. Selain nyaman, juga dekat dengan sumber makanan dan air. Kebetulan, tempat yang mereka berseberangan dengan rumah kayu milik Bu Beri Berang-berang.

Suatu hari, dari balik jendela, Beka melihat Soni Semut membawa sebuah kotak ke rumah Bu Beri.

Kotaknya besar. Cukup untuk memasukkan Horas ke dalamnya. Sedang bagian luarnya terbungkus oleh kain berwarna hitam.

‘Hei Poka, coba lihat itu”, panggil Beka.

Poka yang sedang menggunting kukunya berhenti dan melangkah menuju jendela.

“Apaan sih?”

“Itu”, tunjuk Beka dari balik korden, “kotak hitam itu. Kira-kira apa ya isinya?”

“Wah, gede banget”, ujar Poka, terkejut. “Jangan-jangan isinya sampah tuh!”

“Kok sampah?”. Beka kebingungan.

“Coba ingat, si Soni itu kan tinggalnya dekat pembuangan sampah hutan ini.”, Poka menjelaskan teorinya dengan serius. Tangannya ia letakkan ke belakang, persis seperti seorang profesor yang sedang berpikir. Lanjutnya, “Pasti itu isinya sampah-sampah yang sudah busuk, trus ia kumpulkan dan masukkan ke dalam kotak agar tidak bau.”

Di seberang tampak Soni sedang meletakkan kotak tersebut di ruang tamu Bu Beri.

“Hmmm, bisa jadi”, Beka mengangguk-anggukkan paruhnya. “Dan jangan-jangan, Bu Beri itu punya hobi ngumpulin sampah. Dia kan tinggal sendirian sekarang, siapa tahu karena nganggur jadinya punya hobi aneh.”

“Ih, jorok juga ya”, Poka menjawab dengan raut muka jijik.

Dari luar terdengar suara pintu rumah Bu Beri ditutup. Tampaknya Soni Semut sudah pulang, meninggalkan kotak hitam tersebut di rumah Bu Beri.

***

Tiga hari sudah berlalu sejak kotak hitam itu datang. Setiap hari, Poka dan Beka mengamatinya secara diam-diam dari seberang sungai. Meskipun tidak begitu jelas karena terhalang korden rumah bu Beri, tampak bahwa bu Beri sibuk sekali dengan isi kotak hitam tersebut.

Sesekali Soni mampir dan mereka berdua terlihat antusias sekali mendiskusikan sesuatu.

Selama tiga hari itu pula, Poka dan Beka tak henti-hentinya menduga-duga dan berasumsi mengenai “sampah” yang ada di dalam kotak hitam tersebut. Prediksi mereka yang terbaru, Bu Beri dan Soni sedang berkonspirasi untuk mengumpulkan sampah-sampah terbusuk dari seluruh penjuru hutan, dan sedikit demi sedikit mengubah hutan mereka menjadi hutan sampah!

***

Keesokan harinya, dengan diantar oleh Kaka Kancil, Bu Beri menyeberangi sungai dan menuju ke rumah Poka dan Beka. Poka, yang sedang asik berjemur di atap rumah, kaget melihat kedatangan mereka berdua. Buru-buru ia menyusup masuk ke dalam rumah, menutup dan mengunci pintu dan jendela, serta menyuruh Beka untuk bersembunyi.

“Aku tidak menyangka kalau Kaka sekarang ikut bersekongkol dengan Bu Beri. Mereka ke sini pasti ingin mengajak kita untuk bergabung dengan organisasi menjijikkan mereka itu. Ih, amit-amit deh.”, bisik Poka pada Beka dari balik kulkas, tempat keduanya bersembunyi.

Beka mengangguk, tanda setuju.

Tok. Tok. Tok.

Poka dan Beka menahan nafas mendengar suara pintu diketok.

Tok. Tok. Tok.

Tok. Tok. Tok.

Tok. Tok. Tok.

Kaki Beka mulai kesemutan.

Tok. Tok. Tok.

“Hmmm, sepertinya mereka sedang tidak ada di rumah”, samar-samar terdengar perkataan Kaka kepada bu Beri.

“Iya, kalau begitu sebaiknya kita kembali saja.”, jawab bu Beri.

Sejurus kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki menjauh.

“Phew”, ujar Beka sambil melemaskan kaki-kakinya. “Akhirnya mereka pergi juga. Hampir saja kita terjerumus ke dalam kelompok sampah itu.”

Poka mengintip dari balik jendela, menatap perahu yang dinaiki Kaka dan Bu Beri menjauh.

“Iya, untung saja tadi mereka tidak melihatku di atap.”, ujarnya, lega. “Tidur siang saja yuk, malas aku memikirkan sampah-sampah itu”.

“Yukkkk”.

***

Beberapa jam kemudian Beka terbangun. Terdengar suara ramai dari seberang sungai. Ia meloncat dari tempat tidur dan menuju ke jendela.

Tampak rumah Bu Beri terang benderang. Ramai. Binatang-binatang hutan sedang berkumpul di sana. Mereka asik mengobrol, tertawa, dan menyanyi. Di sisi kanan, bu Tutul Macan dan kak Boni Ulat sibuk menyiapkan makanan yang harumnya terasa sampai ke hidung Beka. Di sisi kiri, Kuri Kura bernyanyi dengan lantang sambil diiringi petikan gitar Kaka Kancil.

Beka sejenak bengong.

18 detik kemudian ia tersadar, dan bergegas membangunkan Poka.

“Poka, Poka, cepat bangun”.

“Apa sih”, jawab Poka sambil cemberut.

“Itu lihat, di rumah Bu Beri”

Mendengar kata kunci ‘Bu Beri’, Poka langsung loncat dari tempat tidurnya dan berlari ke arah jendela.

“Hah, ada apa itu???”, giliran Poka yang bengong.

Di seberang, Bu Beri keluar dari dalam rumahnya sambil membawa kotak besar hitam.

“Ayo semuanya kumpul sini”, teriaknya lantang sambil tersenyum.

Setelah semua binatang berkumpul mengelilingi bu Beri dan kotak hitamnya, Soni Semut tiba-tiba muncul dari balik kotak dan berkata, “Teman-teman, berhubung sekarang adalah hari ulang tahunku dan Bu Beri, yang kebetulan tanggalnya sama, maka kita berdua memutuskan untuk memberikan kado kepada seluruh penghuni hutan!!!”

Seluruh binatang bersorak dan bertepuk tangan. Saking semangatnya bertepuk tangan, Kuri Kura bahkan sampai terjengkang ke belakang.

“Dan terimalah kado dari kami berdua”, ujar Bu Beri Berang dan Soni Semut sembari menggulingkan kotak hitam tersebut.

Poka dan Beka tercekat. Tidak sadar, keduanya berpengangan tangan dan bergumam, “Pasti sampah… pasti sampah.. pasti sampah…”

Kotak terguling. Tutupnya terlepas dan menggelinding, diiringi dengan tumpahnya puluhan bahkan ratusan mainan yang sudah dibungkus kado manis dari dalam kotak.

“Horeeeee!!!!”, sorak penghuni hutan.

Sekali lagi, Poka dan Beka bengong.

***

Malam itu Poka dan Beka terdiam. Sejak melihat mainan-mainan yang ada di dalam kotak hitam bu Beri, mereka tidak bercakap-cakap apapun. Masing-masing sibuk dengan penyesalannya.

Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba terdengar suara ketokan di pintu.

Beka dan Poka berpandangan. Bingung.

“Anak-anak, kalian ada di rumah?”, terdengar suara Bu Beri dari balik pintu.

Kedua bebek kecil itu tersenyum dan langsung berlomba membukakan pintu bagi Bu Beri.

***

Moral Cerita / Bahan Renungan:

"Bukanlah sebuah tindakan bijaksana untuk mengambil keputusan tanpa mengetahui secara jelas duduk persoalannya."

Negatif thinking??? jauh-jauh deh…..ntar bisa capek sendiri. Gak ada untungnya.

Sesungguhnya,
setiap hari kita menemui
banyak kesempatan emas
untuk mencapai hidup
yang cemerlang dan
...berkewenangan besar.

Tapi, semua kesempatan itu
tampil seperti masalah yang sulit
dan tak dapat diselesaikan,
dan yang secara alamiah
membuat kita tidak tertarik,
dan bahkan malas untuk mendekatinya.

Padahal,

Keberhasilan besar dalam hidup kita,
tampil setelah kita menghadapi kesulitan dengan ikhlas.

Mario Teguh

sumber : Sekolah Kehidupan

Manusia Satu Kata

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya.

Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.

“Jadi kau mau menolongku?”
“Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.

“Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja.
“Tidak!” jawab si penolong.
“Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.”
“Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.
Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.

“Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.”
“Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?”
“Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini.

Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, “Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.”
“Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?”

“Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.”
“Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?”
“Manusia satu kata itu, Paduka.”
“Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!”
“Percayalah pada hamba, Paduka.”
Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.

Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.

Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.
“Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama.
“Tidak!” jawab si manusia satu kata.
“Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?”
“Tidak!”

Pertanyaan tinggal satu.
“Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!” ujar si manusia satu kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,

“Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua.
“Tidak!”
“Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?”
“Tidak!”
“Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!”
Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.
Peserta terakhir maju.

Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu.

Dengan mantap pula penjaga menjawab.
“Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.

Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

sumber : Sekolah Kehidupan